• Indonesia harus mau belajar dari negeri-negeri Barat dalam soal supremasi ilmu pengetahuan.
    - Eddie Lembong -
  • Faktor penyumbang kemajuan sebuah bangsa datang dari budaya bangsa itu sendiri.
    - Eddie Lembong -
  • Budaya adalah panacea bagi kondisi bangsa yang semrawut saat ini.
    - Eddie Lembong -
  • Bangsa kita bangsa yang besar dan kaya raya. Seharusnya kita mampu mengelola itu untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
    - Eddie Lembong -
  • Kemajemukan membawa konsekuensi kepada kita untuk siap dan selalu bisa menerima keberagaman tanpa tendensi untuk mendominasi lewat cara apapun.
    - Eddie Lembong -
  • Membangun karakter bangsa memang bukan proyek jangka pendek, ia adalah megaproyek yang harus terus dirawat dan tanpa jeda didiskusikan.
    - Eddie Lembong -
Pluralisme yang Natural

Pluralisme yang Natural

27 April 2024   by admin
Sinar Harapan 04 Mei 2013 I Saiful Rizal

Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi (SCKTC) hanyalah salah satu contoh sekolah yang latar belakang pendiriannya didasarkan pada prinsip salah satu agama, namun toleransi dan pluralisme terus ditanamkan pada para muridnya.

SCKTC terletak di Cengkareng, Jakarta Barat, didirikan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Wiyata Indonesia pada 2003. Mencakup jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMA, dan SMK, pada awalnya sekolah ini dimaksudkan bagi anak usia wajib belajar warga hasil normalisasi Kali Angke.

“Awalnya ada sekitar 570 murid dari kelas 1 SD hingga 2 SMP. Karena merupakan warga dari normalisasi Kali Angke, mereka memiliki berbagai latar belakang agama, suku, dan tingkat ekonomi. Sekitar tahun 2006 dan 2007 kami buka untuk warga lain guna memenuhi kuota kelas,” kata Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi, Syahraibu, kepada SH, Kamis (2/5).

Dengan begitu, SCKTC bukanlah sekolah khusus bagi mereka yang beragama Buddha, walaupun banyak yang beranggapan demikian. Syahraibu menjelaskan, ajaran cinta kasih yang diberikan lewat kata-kata bijak pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, yaitu Master Cheng Yen, diarahkan untuk saling menghormati dan menghargai.

“Kata-kata bijak yang diucapkan seperti ‘Tiada hari tanpa berbakti kepada orang tua dan melakukan kebajikan’ adalah kata-kata yang sudah lintas agama, suku, dan ras. Itu berlaku untuk umum. Itu saya yakini akan menghilangkan rasa sukuisme dan agamaisme,” paparnya.

SCKTC memfasilitasi semua agama yang ada di sekolah. Salah satu caranya adalah menyediakan guru sesuai kebutuhan.

“Kami memberikan kurikulum yang sesuai dengan kurikulum nasional dan memberikan tenaga pengajar yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk pelajaran agama, di sini ada guru agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan Buddha. Jadi murid diberikan pelajaran agama berdasarkan agamanya masing-masing,” ujar Syahraibu.

Selain itu, SCKTC menamakan hari Jumat sebagai Jumat Ibadah pada pukul 11.30 hingga 12.30. Jumat Ibadah bermakna bahwa semua murid yang ada di SCKTC melakukan ibadah sesuai agamanya masing-masing.

“Jadi yang muslim laki-lakinya salat Jumat, yang perempuan pengajian. Kalau yang Kristen Protestan, Katolik, dan Buddha melakukan ibadah dengan bimbingan guru agama masing-masing,” lanjutnya.

Guru Agama Islam dan Pkn (Pendidikan Kewarganegaraan), Eko Raharjo, juga menjelaskan perayaan keagamaan di SCKTC diselenggarakan secara bersama-sama, bukan hanya bagi murid yang merayakan. Nilai pluralisme dan toleransi secara otomatis dapat diaplikasikan lewat hal tersebut. Diadakan pula diskusi tentang bentuk kerja sama antar-agama.

Pluralisme di SCKTC juga diakomodasi dalam hal suku dan tingkat ekonomi. Dari 193 murid SMA, ada yang pribumi dan nonpribumi, serta tingkat ekonomi menengah ke bawah dan atas.

“Masih ada yang pergi ke sekolah dengan jalan kaki, ada juga yang diantar dengan mobil. Tapi kesenjangan itu tidak pernah dibawa-bawa oleh murid ketika di kelas. Semuanya membaur tanpa ada rasa berbeda satu sama lain,” ujarnya.

Sedini Mungkin

Nilai pluralisme memang harus ditanamkan sejak dini. Ini karena meski Indonesia dibangun dengan fondasi keberagaman adat istiadat, budaya, bahasa, agama, maupun aliran kepercayaan, masih saja timbul persoalan krusial. Kasus kekerasan berlatar belakang suku, agama, atau kelompok sosial dan politik masih kerap terjadi, yang bila dibiarkan berlarut-larut dapat mengancam disintegrasi bangsa.

Karena itu, budayawan dan Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Franz Magnis-Suseno mengingatkan tentang pentingnya menanamkan nilai pluralisme sedini mungkin melalui pendidikan formal seperti di sekolah maupun informal di dalam keluarga.

"Dunia pendidikan harus mampu menanamkan nilai pluralisme dan toleransi, karena kondisi ke depan semakin rumit dan beragam," kata pria yang akrab disapa Romo Magnis itu kepada SH, Jumat (3/5). Pendidikan di sekolah jangan sampai terjebak dalam penguatan identitas sempit.

Untuk pendidikan agama, harus memiliki dua mata, pesan Magnis. Di satu sisi, pendidikan agama boleh saja mengajarkan tentang pendalaman identifikasi sebuah agama. Namun ini tidak berarti menyamakan semua agama. Di lain sisi, pendidikan agama harus membuat murid menghormati dan menghargai agama lain.

Hal itu penting, karena tanpa toleransi dan pluralisme sulit bagi Indonesia untuk bertahan dan berkembang. Menanamkan perbedaan secara sempit malah dapat mematahkan nilai pluralisme yang telah sejak lama ditanamkan dalam keluarga, masyarakat, dan negara.

Selain dunia pendidikan, Magnis juga menekankan pentingnya peran keluarga, masyarakat, dan negara dalam menanamkan nilai pluralisme. Pluralisme tidak melulu diajarkan lewat buku maupun pengajaran di kelas. "Yang lebih penting adalah melalui contoh perilaku masyarakat sehingga nilai pluralisme masuk ke diri anak-anak dan generasi muda secara natural. Jadi tidak terkesan ada paksaan bagi mereka (anak-anak)," ucapnya.

Magnis juga berharap jangan sampai keterbukaan yang sudah ada dalam keluarga atau masyarakat dirusak oleh dunia pendidikan yang terkadang ikut menyebarkan kebencian terhadap agama ataupun kelompok lain. Ini karena memang ada upaya segelintir orang ataupun kelompok yang dengan sengaja membangun sekat-sekat perbedaan.

Penyerbukan Silang

Menurut Dosen Filsafat dan Agama Universitas Paramadina, Aan Rukmana, kekerasan SARA terjadi karena bangsa ini sudah kehilangan visi bersama. Karena itu, nilai pluralisme wajib ditanamkan sedini mungkin. “Berikan pemahaman bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang harus disyukuri. Kita perlu bersinergi agar menjadi besar dan kuat," kata Ketua Harian Yayasan Nabil itu kepada SH, Jumat.

Lebih jauh dijelaskannya, pluralisme sangat terkait erat dengan budaya bangsa, dan budaya sangat berpengaruh terhadap kemajuan bangsa. Salah satu upaya membangkitkan budaya Indonesia adalah konsep yang disebutnya sebagai "penyerbukan silang antar-budaya".

Tapi sayangnya, kekerasan yang terjadi belakangan ini mencerminkan telah terjadi kegagalan dalam proses penyerbukan budaya, lanjut Aan.

"Padahal dengan penyerbukan silang itu kita tidak lagi melihat kekurangan budaya, agama, atau suku lain, tapi hanya melihat kelebihannya. Nilai positif itu harus diadaptasi demi kemajuan bangsa," katanya.

Aan mencontohkan, dapat mengambil nilai positif dari orang Minang dan Tionghoa dalam berdagang dan sopan santun dari orang Jawa.

Selain itu, pengajar di sekolah maupun orang tua di rumah dan masyarakat harus menceritakan tentang kisah kepahlawanan para pejuang bangsa ini. Ini karena dari sanalah anak-anak dapat belajar tentang pola kepemimpinan yang baik, semangat membela bangsa, dan niat tulus memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan.

Rudyono Darsono, ketua Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945, Jakarta, juga mengingatkan kekerasan dapat menjadi persoalan abadi jika pluralisme tidak dikelola dengan baik. “Kalau tidak memperhatikan pluralisme, kita akan menjadi individualistis dan egoistis. Nasionalisme bisa runtuh,” katanya kepada SH, Jumat malam.

Ia setuju jika pendidikan tentang pluralisme ditanamkan sejak dasar di pendidikan tingkat dasar. Sayangnya, sejak era reformasi hanya disebut-sebut tentang character building tapi melupakan mission character building. Akibatnya, persatuan dan Pancasila terlupakan.

Oleh sebab itu, kata Rudyono, jika ingin mencapai perikehidupan bangsa yang berkeadilan dan damai yang menghargai pluralisme, mesti dimulai dari anak didik. Ia pun mengutip pernyataan Mahatma Gandhi, “If we to reach real peace in this world shall have begin with children.”

Artinya, jika kita ingin mewujudkan perdamaian nyata maka harus dimulai dengan anak-anak. (CR-33/Wahyu Dramastuti)


Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/18945/pluralisme-yang-natural
Dikusi Publik
scroll to top